Suara dari Dalam Diri: Seni Beropini dengan Berani di Era yang Terbuka

Diferensia843 Views

 

Di tengah derasnya arus informasi hari ini, suara setiap individu semakin berharga. Opini bukan lagi milik segelintir orang yang punya panggung, mikrofon, atau kamera. Kini, semua orang bisa beropini—baik melalui ucapan maupun tulisan. Bahkan, dalam era digital, tulisan kerap menjadi medium paling kuat untuk menyampaikan pikiran, menggugah perasaan, dan menggerakkan perubahan. Opini tidak harus diucapkan lantang di depan banyak orang; ia bisa ditulis dalam blog pribadi, media sosial, atau catatan kecil yang bermakna.

Namun, berani beropini, apalagi di depan publik, bukan perkara mudah. Banyak orang merasa canggung, takut salah, atau khawatir tidak didengarkan. Lalu, bagaimana cara membangun keberanian itu? Pertama-tama, kenali bahwa opini adalah hak. Setiap orang memiliki perspektif unik yang layak untuk didengar. Kedua, mulai dari ruang kecil: diskusi dengan teman, menulis di jurnal, atau menyampaikan pandangan dalam forum yang nyaman. Seiring waktu dan latihan, keberanian itu akan tumbuh, dan panggung yang lebih besar pun tak lagi menakutkan.

Lalu, apakah opini harus selalu berupa fakta? Tidak. Opini adalah sudut pandang, bukan data mentah. Tapi akan lebih kuat jika didukung oleh fakta dan disampaikan secara persuasif. Masalah muncul ketika opini diklaim sebagai fakta tanpa dasar yang jelas. Hal ini dapat menyesatkan, membangun asumsi yang salah, bahkan memperkeruh informasi publik. Maka, penting untuk jujur: bedakan antara “saya rasa” dan “saya tahu.”

Di era modern yang ditandai dengan keterbukaan informasi dan kemajuan teknologi, cara seseorang beropini ikut berubah. Kini, opini bisa viral dalam hitungan menit. Setiap unggahan bisa berdampak luas. Ini membuka peluang, sekaligus menuntut tanggung jawab. Media sosial, misalnya, memberi ruang bagi siapa pun untuk berpendapat, tapi juga menuntut kedewasaan dalam menyampaikan dan menyikapi.

Lalu, bagaimana dengan istilah kebebasan berpendapat? Apakah itu berarti juga bebas beropini? Tentu saja. Kebebasan berpendapat mencakup hak untuk menyampaikan opini secara terbuka, selama tidak melanggar hak orang lain atau menebar kebencian. Di sinilah pentingnya etika beropini—agar kebebasan tak berubah menjadi kebablasan.

Opini yang baik mampu mengubah cara pandang seseorang, bahkan mengubah hidupnya. Sebuah opini yang menyentuh hati bisa membuka mata, memperluas wawasan, dan menumbuhkan empati. Karena itu, penting bagi setiap orang untuk belajar menyampaikan opini dengan baik. Tidak untuk menang atau memaksakan, tetapi untuk mengajak berpikir bersama.

Mengapa seseorang harus bisa beropini dengan baik? Karena itu adalah bagian dari menjadi warga yang aktif, manusia yang utuh. Mereka yang terbiasa menyuarakan pikirannya cenderung lebih percaya diri, lebih kritis, dan lebih siap menghadapi perubahan. Selain itu, dengan terbiasa menyampaikan opini, kita belajar mendengar, berdialog, dan tumbuh bersama orang lain.

Namun, tidak semua orang terbiasa atau nyaman beropini. Banyak hambatan muncul: takut ditertawakan, takut salah, takut ditolak, atau trauma pernah dibungkam. Rasa takut ini wajar, tetapi bisa diatasi. Salah satu cara membiasakan diri beropini adalah mulai dari hal sederhana: menuliskan pemikiran setelah membaca buku, memberi komentar yang sopan di media sosial, atau menyuarakan ide di kelas atau rapat. Lama-lama, keberanian itu akan tumbuh dan menjadi bagian dari kebiasaan.

Apa saja hambatan umum dalam beropini? Rasa tidak percaya diri, lingkungan yang tidak suportif, budaya yang mematikan kritik, atau bahkan pengalaman masa lalu yang traumatis. Mengapa seseorang takut beropini? Karena opini membuat seseorang merasa rentan—takut dinilai, dikritik, atau disalahpahami. Tapi justru dari kerentanan itu tumbuh kekuatan. Karena hanya yang berani terbuka, yang bisa benar-benar tumbuh.

Agar opini yang disampaikan tidak hanya didengar tapi juga dimengerti, ada beberapa tips dan trik yang bisa diikuti:

1. Pahami dulu topiknya – Jangan asal bicara. Opini yang baik lahir dari pemahaman yang mendalam.

2. Gunakan data bila perlu – Fakta memperkuat opini, membuatnya lebih kredibel.

3. Sampaikan dengan empati – Hormati pendapat orang lain, hindari menyerang pribadi.

4. Jelaskan dengan sederhana – Opini yang rumit sulit diterima. Gunakan bahasa yang lugas dan bersahabat.

5. Latih terus kemampuan menyampaikan – Semakin sering mencoba, semakin kuat suara Anda.

Pada akhirnya, opini bukan sekadar suara dari mulut atau tulisan di kertas. Ia adalah jendela ke dalam jiwa seseorang—apa yang ia yakini, perjuangkan, dan impikan. Maka jangan takut untuk menyuarakan isi hatimu. Dunia tidak selalu setuju, tapi ia selalu butuh keberanianmu. Be Brave and let’s start to deliver your opinion!

 

BUSTOMI MENGGUGAT

Jurnalis dan Public Speaker

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *