Honai Berbisik, TNI Mendengar: Ketika Lelah Papua Disembuhkan dengan Pelukan Kemanusiaan

Humanitas461 Views

Sinak, – Di balik kabut tebal yang menyelimuti Pegunungan Tengah Papua, sebuah harapan perlahan menembus dingin. Satgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti, dipimpin oleh Sertu Efrian, menyusuri jalan setapak menuju Kampung Gigobak, Distrik Sinak, Rabu (7/5/2025). Mereka datang bukan membawa senjata, melainkan membawa hati—untuk mendengar, menyentuh, dan menyembuhkan.

Tujuan mereka adalah Honai milik Bapak Jemmy, tokoh adat yang disegani di kampung itu. Bukan kunjungan seremonial. Ini adalah anjangsana—perjumpaan yang membumi, menyatu dalam tradisi, dalam balutan musyawarah adat yang disebut komsos. Di sinilah, TNI belajar memahami bahasa bisu: isyarat kelelahan yang tak terucap, tangis yang tertahan di balik tatapan warga.

Di dalam honai yang hangat oleh perapian, Sertu Efrian dan anggotanya duduk bersila bersama warga. Asap kayu mengepul pelan, seolah menjadi saksi bisu percakapan yang begitu manusiawi. Satu per satu, keluhan mengalir dari mulut warga: tentang sulitnya mengakses obat dan pendidikan, tentang harga bahan pokok yang menjulang seperti puncak gunung di kejauhan.

“Kami datang bukan sebagai tentara. Kami saudaramu,” ucap Sertu Efrian pelan, nyaris seperti bisikan yang sarat kasih. “Apa yang Bapak dan Ibu rasakan, kami pun ikut merasakannya.”

Di akhir perjumpaan, paket sembako diserahkan kepada keluarga Bapak Jemmy. Sekantong beras, minyak goreng, dan beberapa bahan kebutuhan pokok mungkin tampak biasa bagi mereka yang tinggal di kota. Tapi di sini, di jantung Papua yang sunyi, bantuan itu menjelma menjadi pelukan: bahwa mereka tak sendiri, bahwa negeri ini masih peduli.

Bapak Jemmy menerima bantuan itu dengan tangan gemetar. Air matanya menetes, namun senyumnya tetap bertahan. “Terima kasih, TNI. Terima kasih, anak-anakku. Ini lebih dari cukup bagi kami,” bisiknya seraya memeluk erat bantuan itu, seakan tak rela melepaskannya.

Lettu Inf Karel, Danpos Sinak Bandara, menyampaikan harapannya selepas kegiatan. “Kami tidak ingin sekadar datang dan pergi. Kami ingin mendengar, hadir dalam setiap keluhan, dan ikut mengulurkan tangan,” ujarnya. “TNI harus jadi jembatan harapan—bukan hanya hadir secara fisik, tapi hadir dengan nurani.”

Kegiatan ini tak akan berhenti di Gigobak. Mereka akan terus berjalan, menembus lembah dan tebing, menyusuri jejak-jejak sunyi untuk menjangkau mereka yang selama ini merasa terlupakan.

“Selama masih ada satu warga yang butuh uluran tangan, kami akan datang,” tegas Karel.

Dan begitulah, di tengah beratnya medan Papua, terukir sebuah kisah: tentang tentara yang tak hanya menjaga tanah air, tapi juga menjaga asa. Seperti pepatah tua yang hidup di lembah ini: “Satu honai roboh, seribu honai akan dibangun.” Di tanah yang keras, kasih yang lembut adalah fondasi yang paling kokoh.

(Arif/Sulaiman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *