Surabaya, – Siapa bilang mahasiswa belum bisa menandingi dokter berpengalaman?
Tiga mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK UNAIR) membuktikan sebaliknya. Mereka sukses meraih Juara 2 Nasional Big Beat Challenge (BBC), ajang kompetisi kardiologi bergengsi yang digelar dalam rangkaian Airlangga Cardiovascular International Conference VII (ACIC VII) dan Airlangga Cardiovascular Expert Meeting (ACSA) 2025 di Surabaya.
Tim yang beranggotakan Yongki Welliam, Ikhsan Rifai Darmawan, dan Zaskia Nafisa Salma itu tampil gemilang di tengah ketatnya persaingan. Kompetisi yang diadakan oleh Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNAIR berlangsung di Vasa Hotel Surabaya, Sabtu (1/11/2025) hingga Minggu (2/11/2025).
Bagi Yongki, Big Beat Challenge bukan lomba biasa. Pesertanya datang dari berbagai tingkatan, mulai mahasiswa preklinik, dokter muda, hingga dokter umum.
“Materinya jauh di atas standar kompetensi dokter di Indonesia. Jadi, kami benar-benar ditantang untuk berpikir kritis dan cepat,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025).
Dengan jadwal kuliah dan praktik yang padat, persiapan dilakukan di sela-sela waktu luang. Namun semangat mereka tak surut. “Banyak soal yang memuat ilmu baru, jadi kami harus berhati-hati dan menganalisis tiap pertanyaan dengan cermat,” tambahnya.
Menurut Ikhsan Rifai Darmawan, kunci keberhasilan tim bukan hanya kecerdasan, tapi kepercayaan dan strategi.
“Kami berasal dari angkatan berbeda dan jarang kumpul. Jadi, kami bagi peran sesuai kemampuan masing-masing. Saya lebih ke analisis, sedangkan babak cepat-tepat kami serahkan ke Mas Yongki dan Zaskia,” katanya.
Kekompakan mereka terbangun sejak menjadi delegasi Regional Medical Olympiad (RMO) dan International Medical Olympiad (IMO) di bidang kardiorespirasi.
“Kalau ada satu yang yakin dengan jawabannya, kami percayakan sepenuhnya. Itu bukti saling percaya di tim,” ungkap Ikhsan.
Ia menambahkan, pengalaman ini memberi pelajaran berharga tentang kerendahan hati. “Kompetisi ini membuka mata kami bahwa selalu ada ‘bigger fish to fry’. Meski kami sudah sering ikut lomba, ternyata masih banyak yang harus dipelajari. Ini mengajarkan kami untuk tetap rendah hati dan haus ilmu,” ujarnya.
Sementara itu, Zaskia Nafisa Salma mengaku sempat minder di awal lomba.
“Saya sempat berpikir peserta yang sudah dokter pasti lebih unggul. Tapi setelah masuk final, saya sadar kalau tingkat pendidikan bukan penentu utama, yang penting seberapa dalam kita memahami ilmunya,” ucapnya.
Zaskia menilai ajang seperti Big Beat Challenge perlu diperluas karena memberi ruang belajar dan bertemu sosok inspiratif.
“Kompetisi ini bikin semangat belajar kami naik lagi. Yang kita pelajari di kampus baru secuil dari lautan ilmu kedokteran. Di sini kami bisa bertemu langsung dengan dokter dan ahli kardiologi top yang sulit ditemui di keseharian,” tambahnya.
Keberhasilan tim FK UNAIR bukan hanya soal trofi, tapi juga tentang semangat muda yang tak kenal batas. Mereka menunjukkan bahwa dedikasi, kerja sama, dan rasa ingin tahu yang besar bisa mengantarkan siapa pun melampaui batas kemampuan diri.
Dari Surabaya, mereka membawa pulang bukan sekadar medali perak, tetapi juga pesan inspiratif bagi seluruh mahasiswa kedokteran:
“Jangan takut bersaing, bahkan dengan yang lebih berpengalaman. Karena belajar yang sesungguhnya dimulai saat kita berani melangkah ke medan yang belum kita kuasai.” (*)
(pkip/sulaiman)












