Surabaya, – Profesi dokter tak selalu berarti terkungkung di ruang praktik dan stetoskop. Bagi dr. Intan Andaru, MKed Klin, lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (UNAIR), dunia kata-kata justru menjadi medium lain untuk menyembuhkan.
Setelah sempat terpilih sebagai Emerging Writer di Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2021, tahun ini dr. Intan kembali menorehkan prestasi di ajang sastra internasional yang sama. Karyanya, novel berjudul “Bia dan Kapak Batu“, berhasil lolos kurasi dan dipresentasikan dalam festival sastra bergengsi itu di Ubud, Bali.
UWRF dikenal sebagai salah satu festival sastra paling bergengsi di Asia Tenggara. Bukan sekadar perayaan karya sastra, UWRF menjadi panggung bagi suara-suara yang mengangkat isu sosial, lingkungan, dan kemanusiaan. Karya dr. Intan pun tak sekadar hiburan, ia membawa kegelisahan dan empati dari tanah Papua Selatan.
Perjalanan lahirnya “Bia dan Kapak Batu“ dimulai pada 2018, saat dr. Intan melakukan riset lapangan tentang wabah campak dan gizi buruk di Asmat. Ia merasa terpanggil untuk memahami penyebab di balik tragedi kemanusiaan itu.
“Saya lolos seleksi Penerima Hibah Perempuan Pelaku Kebudayaan di Bidang Sastra Cipta Media Ekspresi untuk riset menulis di Asmat,” ujarnya.
Namun, setelah tiga bulan riset, ada yang mengganjal. “Saya pulang ke Surabaya tapi merasa banyak hal belum selesai. Akhirnya, saya kembali ke Asmat dan bekerja sebagai dokter PTT di RSUD Agats selama setahun, pada 2019,” kenangnya.
Di tengah tugasnya sebagai dokter, dr. Intan tak berhenti menulis. Ia juga menjadi relawan medis di Distrik Sawa Erma, berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan dan pihak paroki. “Sekali dayung, dua pulau terlampaui,” katanya sembari tersenyum. “Saya bisa menolong secara medis, sekaligus mendengar dan menulis kisah mereka.”
Ketika Kata-Kata Menyentuh Luka Asmat
Novel “Bia dan Kapak Batu“ memotret pergeseran budaya masyarakat Asmat akibat arus modernisasi dan masuknya para pendatang. Di balik modernisasi itu, kata dr. Intan, muncul luka-luka sosial baru yaitu prostitusi, penyakit menular, kekerasan, imperialisme ekonomi, hingga gizi buruk yang terus berulang.
“Lewat novel ini, saya ingin mengatakan bahwa Asmat tidak baik-baik saja. Pembangunan yang digaungkan pemerintah bisa jadi bukan solusi bagi mereka,” tutur dr. Intan dengan nada lirih.
Ia menulis bukan untuk menghakimi, tetapi untuk menghadirkan empati, bahwa di balik data dan laporan medis, ada manusia yang sedang berjuang untuk bertahan hidup.
Bagi dr. Intan, profesi dokter dan penulis tak pernah berseberangan. Keduanya sama-sama berangkat dari rasa kemanusiaan.
“Profesi apapun, kemampuan menulis itu penting—baik menulis buku, artikel, esai, atau jurnal. Manusia hanya hidup sementara, tapi lewat tulisan, mereka bisa abadi,” tutupnya.
Dan, dr. Intan Andaru membuktikan, menyembuhkan bukan hanya dengan obat dan pisau bedah, tapi juga dengan kalimat yang jujur dan penuh kasih.(*)
(pkip/sulaiman)







