PII Jatim Menyusun Masa Depan: Dari Lumajang, Untuk Indonesia

Diferensia951 Views

Lumajang, – Sabtu (10/5/2025) pagi. Langit Lumajang begitu cerah. Di bawah atap Pendopo Arya Wiraraja, riuh rendah suara pelajar memenuhi udara. Bukan teriakan kosong, tapi gema semangat. Mereka datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, membawa satu misi besar: menghidupkan kembali denyut kaderisasi Pelajar Islam Indonesia (PII), dan menegaskan perannya dalam mencetak pemimpin masa depan.

Itulah semangat Konferensi Wilayah (Konwil) ke-34 PII Jawa Timur. Bukan sekadar agenda rutin dua tahunan, Konwil ini adalah ruang dialektika ide dan semangat—tempat bertemunya tradisi dan transformasi.

Dengan tema besar “Transformasi Gerakan PII: Wujudkan Jawa Timur Gerbang Baru Nusantara”, para pelajar ini datang bukan hanya untuk berkumpul, tetapi untuk menyusun arah baru gerakan Islam dan keindonesiaan dari sudut pandang generasi muda.

Kaderisasi Sebagai Jalan Kepemimpinan

Bupati Lumajang, Ir. Hj. Indah Amperawati Masdar, M.Si, yang hadir membuka acara, berbicara dari hati yang paling dalam. Ia bukan sekadar pejabat publik. Ia adalah alumni PII. Tahun 1980-an, ia pernah duduk di kursi yang sama seperti para pelajar hari itu—berproses, belajar, dan tumbuh melalui organisasi.

“Saya melihat langsung, pimpinan yang pernah aktif di organisasi memiliki cara pandang dan kepemimpinan yang berbeda. Mereka punya daya tahan, kepekaan, dan tanggung jawab. Itu karena mereka sudah terbiasa menjalani proses kaderisasi,” tegas Indah.

Ia melanjutkan, “Saya adalah bukti nyata dari proses itu. Dulu saya anak muda yang belajar bicara, berdialektika, menyusun program kerja, hingga turun langsung mengadvokasi pelajar. Semua itu saya pelajari di PII.”

Pesan itu disambut hangat oleh ratusan peserta Konwil. Bagi mereka, perkataan sang bupati bukan sekadar motivasi, tapi cermin masa depan yang mungkin mereka capai—asal setia menjalani proses.

Gerakan Pelajar: Di Antara Tradisi dan Tantangan Baru

Ketua Umum Pengurus Wilayah PII Jawa Timur, Chamid, menyampaikan arah gerakan ke depan dengan nada tegas namun tenang. Ia menyadari, dunia pelajar kini hidup dalam medan sosial yang berbeda. Tapi prinsip dasar PII tetap relevan.

“Transformasi bukan berarti kehilangan akar. Kita berubah karena zaman menuntut, tapi nilai-nilai dasar kita: keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan tetap menjadi fondasi,” katanya.

Ia menekankan bahwa kaderisasi adalah napas utama organisasi. “Pelajar hari ini adalah pemimpin masa depan. Maka proses kaderisasi bukan sekadar program kerja, tapi jalan perjuangan yang tak boleh berhenti.”

Selama tiga hari ke depan, mulai 10 hingga 12 Mei, peserta Konwil akan menjalani berbagai rangkaian kegiatan—musyawarah, diskusi strategis, pelatihan, hingga refleksi nilai-nilai dasar PII. Semua itu digelar dalam suasana kekeluargaan, intelektual, dan spiritual.

Warisan yang Tak Pernah Usang

Sejak berdiri pada 4 Mei 1947, PII telah menjadi rumah ideologis dan wadah kepemimpinan bagi banyak tokoh bangsa. Nama-nama besar seperti Mohammad Natsir, Buya Hamka, hingga Amien Rais, pernah bersinggungan langsung dengan PII dalam proses intelektual dan gerakan sosialnya.

Di tengah krisis karakter yang sering menghantui generasi muda, PII menawarkan jalan alternatif: kepemimpinan yang berakar pada nilai, keberanian berpikir, dan semangat pengabdian.

“PII itu bukan organisasi seremonial. Ia tempat bertumbuh. Tempat di mana pelajar belajar tentang makna tanggung jawab, pentingnya ilmu, dan keberanian bersuara,” tutur Jamal Abdullah Al Katiri, Ketua Keluarga Besar (KB) PII Lumajang.

Konwil ini juga dihadiri sejumlah tokoh penting: Penasehat Menteri Desa-PDT Prof. Dr. Zainudin Maliki, Asisten Gubernur Jatim Ir. Joko Irianto, M.Si, serta jajaran Forkopimda Lumajang. Namun seperti kata Indah Amperawati, panggung sebenarnya milik para pelajar.

“Merekalah pemilik masa depan,” tegasnya. “Dan masa depan itu tidak datang dengan sendirinya. Ia ditata dari sekarang, dengan tekad, dengan proses, dengan pengabdian.”

Menatap Jauh ke Depan

Dari Lumajang, semangat PII Jawa Timur kembali menyala. Bukan sekadar obor kecil di tengah gelapnya zaman, tapi cahaya yang menunjukkan arah: bahwa Indonesia tidak kekurangan pemimpin, selama pelajarnya terus belajar dan berproses.

Di bawah atap Pendopo itu, para pelajar tidak sedang bermimpi. Mereka sedang menyusun masa depan. Dan mereka tidak sendiri. Ada sejarah panjang di belakang mereka, ada harapan besar di depan mereka.

Dan PII—seperti sejak awal berdiri—tetap menjadi ruang peradaban itu. (*)

 

Editor: Sulaiman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *