Badan sepakbola dunia Fédération Internationale de Football Association (FIFA) sudah mengambil keputusannya, Indonesia di-removed sebagai tuan rumah Piala Dunia FIFA U-20. Keputusan ini sudah final. Presiden Indonesia, Presiden Joko Widodo sudah mengumumkannya kepada publik Indonesia.
Banyak opini yang mencoba merasionalisasi keputusan FIFA. Tidak sedikit dari opini dimaksud yang menyinggung soal faktor ke(tidak)amanan Indonesia dan potensi ancaman keamanan, yang kemudian membuat FIFA me-removed Indonesia. Bahkan ada yang kemudian mengkaitkan dengan peristiwa Munich Massacare 1972.
Tapi, apakah benar faktor ke(tidak)amanan Indonesia yang menjadi masalah? Apakah Indonesia, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Bali (secara tersirat) tidak aman?
Coba kita hitung soal ancaman dan likelihood-nya, jika saja Piala Dunia U-20 jadi dilakukan di Indonesia
Pertama, ancaman paling menakutkan adalah aksi teror. Ada opini yang mengatakan bahwa jika Indonesia tetap menjadi tuan rumah maka seluruh kelompok-kelompok teror di Indonesia akan muncul dan akan menjadikan Bali sebagai sasarannya, karena di situ, tim negara Israel akan bermain.
Tentu, potensi aksi teror sekecil apapun harus dianggap serius. Tapi, bagaimana likelihood atau kemungkinan hal ini terjadi? Untuk memetakannya maka kita harus mengerti dulu filosofi dan tipologi kelompok teror di Indonesia.
Tujuan dari eksistensi kelompok teror di Indonesia hanya satu, yaitu kekuasaan. Untuk merebut kekuasaan tersebut maka aksi teror hanyalah ‘alat’ untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian maka setiap aksi teror adalah investasi untuk mencapai tujuannya
Sekarang, jika Piala Dunia U-20 dilaksanakan, misalnya di Bali, apakah lantas Bali akan menjadi Munich 1972 ke dua? Likelihood-nya sangat kecil, bahkan insignifikan.
Kenapa? Karena jika mereka punya kemampuan untuk melakukan aksi teror, tidak ada signifikansi bagi kelompok teror untuk ‘menyerang nanti’, jika mereka bisa menyerang sekarang. Jika mereka punya kemampuan, mereka bisa melakukannya kapan saja, dan bahkan menyasar orang asing yang semakin ramai di Bali, sama seperti kasus bom Bali I dan Bom Bali 2 yang menyasar ‘orang asing’.
Kemudian, jika kelompok teror punya kemampuan tapi mereka menanti akan kehadiran target mereka, kemungkinan persiapan mereka bocor semakin tinggi. Itu adalah pola aksi-aksi teror di Indonesia. Jika bisa serang sekarang, kenapa harus nanti, dengan resiko ditangkap. Artinya, opini bahwa Bali akan menjadi Munich kedua adalah opini yang sangat tidak beralasan.
Kemudian, pemerintah Indonesia lewat komunitas intelijen dan aparat penegak hukum, khususnya Densus 88 AT Polri sudah sangat mampu dan berhasil melakukan operasi-operasi pencegahan aksi tindak pidana terorisme di Indonesia, khususnya meng-captured or killed para teoris yang punya kemampuan meramu bahan peledak menjadi Improvised Explosive Devices (IEDs).
Kesuksesan komunitas intelijen Indonesia dan aparat penegak hukum dalam mengamankan G-20 merupakan bukti nyata bahwa aparat penegak hukum Indonesia mampu!
Jadi, ancaman aksi serangan teror itu sangat insignifikan sehingga tidak bisa dijadikan alasan dicabutnya status tuan rumah Indonesia oleh FIFA.
Kedua, ada aksi protes besar-besaran jika tim nasional Israel bermain di wilayah kedaulatan Indonesia. Sebenarnya, likelihood dari aksi protes ini ada. Kelompok yang pastinya akan ‘turun ke jalan’ sebenarnya bukanlah kelompok baru, atau aliansi kelompok baru. Ini adalah kelompok-kelompok penganut ekstrimisme kekerasan yang selama ini selalu mencari alasan untuk turun ke jalan. melakukan protes ke pemerintah yang sah, dan menawarkan solusi halusinasi yang termotivasi oleh ideologi agama.
Kenyataannya, kelompok, atau aliansi kelompok-kelompok ini tidak pernah mampu untuk mengkonsolidasikan kekuatannya dan meraih tujuannya untuk mengganggu pemerintahan yang sah. Bahkan ketika mereka berkolaborasi sebelum Pilpres 2019 pun mereka kalah.
Artinya, likelihood mereka untuk melakukan aksi turun ke jalan itu tentu bisa terjadi, tapi bahwa aksi mereka bisa dilakukan setiap hari selama kompetisi U-20 dilangsungkan, dan bahwa aksi mereka itu mampu menggoyang pemerintahan yang sah adalah sangat kecil kemungkinannya.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa Indonesia itu aman, dan sebenarnya kondusif bagi pelaksanaan Piala Dunia U-20. Tidak ada bukti bahwa komunitas intelijen Indonesia dan aparat penegak hukum Indonesia tidak mampu menjamin dan memastikan bahwa Indonesia aman.
Kondisi keamanan Indonesia hari ini, jauh lebih baik dibanding kondisi Munich di tahun 1972. Indonesia bukan, dan tidak akan pernah menjadi Munich 1972 kedua.
Jadi, jika keamanan bukanlah faktor utamanya, maka apa yang menjadi faktor utama pencabutan status tuan rumah? Ya, sama seperti yang sudah diungkapkan oleh Ketua Umum PSSI: Ada campur tangan politik dalam negeri, yang oleh FIFA dianggap sebagai intervensi.
Jadi, jangan ragu, Indonesia Aman! Yang bilang Indonesia tidak aman hanyalah politisi-politisi yang cari eletabilitas di tahun 2024 semata. Dan, mereka-mereka yang mencitrakan bahwa Indonesia tidak aman, mereka jugalah yang akan jadi orang-orang pertama yang akan mengucapkan selamat kepada aparat penegak hukum ketika terjadi penangkapan-penangkapan teroris di Indonesia oleh Densus 88.
ALTO LUGER
Analis Konflik Terorisme