Mayjen TNI Farid Makruf, Si Jenderal Sederhana

Diferensia4021 Views

Mayjen TNI Farid Makruf

 

Akhir-akhir ini, masyarakat kerap dihadapkan banyak sekali bentuk flexing dari oknum pejabat atau mereka yang memiliki pangkat. Seolah jika menjadi pejabat sah bertingkah aneh dan menampilkan segala bentuk harta dan kemewahan, tanpa kemudian sensitif pada kondisi sosial masyarakat yang menurut data terbaru koefisien gini, menunjukkan ada jurang menganga antara kelas elit yang diwakili pejabat atau mereka yang berpangkat dengan kaum alit, kaum jelata, rakyat biasa. Maka, appearance para pejabat atau mereka yang berpangkat dan berkaitan dengan layanan publik lebih pada persoalan sensitivitas sosial.

Bicara mengenai sensitivitas sosial ini, pernahkah kita mengetahui seseorang atau membaca kabar berita bahwa seseorang yang semula masih berada di level bawah, saat menjadi pejabat tinggi tetiba memakai barang-barang mewah berharga ratusan juta atau miliaran rupiah. Padahal dilihat dari gajinya tidak masuk akal, dia mampu membeli barang tersebut atau dilihat dari latar belakang ekonomi diri dan keluarganya. Katakanlah biasa memakai jam tangan casio yang harganya ratusan ribu rupiah lalu tetiba memakai jam tangan merk Richard Millie seharga 2,5 miliar. Tanpa perlu curiga atau sebagainya, bukankah ada baiknya mengedepankan sisi sensitivitas sosial. Lebih-lebih ketika menjadi pimpinan dari anak buah yang kehidupan mereka biasa atau sederhana bahkan pada banyak kasus serba kekurangan.

Kesederhanaan seolah menjadi barang langka jika kita kaitkan dengan pejabat. Padahal pejabat sejatinya adalah pelayan masyarakat.

Terkait hal itulah, kemudian penulis teringat sosok Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, M.A., mantan Panglima Kodam V/Brawijaya dan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat. Ini terjadi ketika penulis mendapatkan kesempatan berharga untuk mengikuti jadwal penelitian studi doktoralnya di Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Sesuai jadwal ditentukan kami berangkat dari Juanda Surabaya di Sidoarjo. Bayangan penulis, sebagai seorang jenderal bintang dua di pundaknya, tentu seorang Farid Makruf akan memakai kelas bisnis atau paling tidak berpisah dengan rombongan dan memakai kelas bisnis. Ternyata tidak, dirinya memilih membersamai kami di kelas ekonomi dan maskapai “biasa”. Sekali lagi kekaguman penulis padanya bertambah. Terlepas bahwa ada aturan protokoler yang melekat padanya, tetapi sepanjang perjalanan yang berlangsung hampir sepekan itu, hanya kesederhanaan demi kesederhanaan yang mata ini saksikan. Termasuk dalam menyambut, menyapa dan berinteraksi dengan TNI yang menjabat Bintara Pembina Desa (Babinsa), menyapa masyarakat adat, berjalan darat dari Palu ke Poso selama kurang lebih 8 jam lamanya, beliau jalani. Malamnya langsung ke Lembah Bada, menginap di penginapan sederhana, sarapan menu “seadanya”, ini hanya bisa dilakukan tanpa gimmick oleh mereka yang pernah tertempa dalam hidupnya dengan baik dan menyadari bahwa hidup hanyalah “sekedar numpang minum” semata.

Jadi, baik ketika menjadi Pangdam V/Brawijaya, Kaskostrad ataupun saat menjalani penelitian lapangan yang bahkan bisa saja bukan beliau yang terjun, kesederhanaan terlihat adalah karakternya, bukan sesuatu yang dipoles demi citra.

Apa yang penulis saksikan dan rasakan ini, mengingatkan diri saat membersamai seorang perwira menengah TNI berpangkat Kolonel, penelitian di luar Jawa juga. Nampak sekali bahwa dirinya seorang Pamen.  Sangat jauh perbedaannya. Padahal seorang Farid Makruf adalah jenderal bintang dua yang mana bayangan penulis akan lebih “parah” cara menelitinya. Ternyata di luar dugaan. Semua terbantahkan. Jangan anda bayangkan pakaiannya maupun aksesoris yang melekat akan sangat mewah hingga berharga ratusan juta atau miliaran rupiah. Tidak sama sekali. Sangat jauh. Penulis menduga, sejarah hidup dan darimana ia berasal, sedikit banyak membentuk karakter dirinya untuk menjadi pribadi sederhana. Lahir dan besar sebagai anak pedagang pasar di sebuah daerah bernama Tanah Merah, Bangkalan, Madura, Farid Makruf dulu dan sekarang tak nampak berbeda. Mungkin yang pasti berbeda bahwa ia sekarang seorang jenderal TNI dengan pengalaman luar biasa di berbagai operasi penting untuk stabilitas NKRI. Seorang jenderal dengan jabatan-jabatan strategis mulai Wairjen, Pangdam V/Brawijaya ataupun Kaskostrad. Itu saja. Sesuatu yang memang tak bisa dihindari dan harus dilewati.

Melanjutkan cerita mendampingi seorang Farid Makruf di Sulawesi Tengah itulah, penulis teringat pada petuah seorang alim allamah yang menyatakan “Janganlah kalian mencari akhlak seseorang di masjid (tempat ibadah, pen.), tapi carilah ia ketika jual beli, bayar hutang, keti bermusuhan dan ketika safar (bepergian, pen.). Karena sesungguhnya hakekat akhlaknya akan tampak.” Yah, penulis tengah bersafar atau bepergian dengan seorang Mayjen TNI Farid Makruf. Dan tulisan singkat ini adalah hasil tangkapan penulis selama safar Cara beliau menyapa masyarakat setempat, berdiskusi bahkan sekedar mengobrol sembari menikmati kudapan di sebuah rumah warga. Yang diminta tanpa ada kamera atau sorot atasnya, di luar dugaan kami, warga sipil yang punya bayangan “seabrek” tentang style dan gesture seorang jenderal TNI. Apa yang kami saksikan adalah bentuk Jenderal yang sungguh down to earth.

Maka, tatkala menyaksikan video atau tontonan, membaca berita atau menyaksikan langsung aksesoris kemewahan para pejabat yang berlalu lalang di hadapan penulis, mengingat kembali perjalanan membersamai jenderal yang kini akan mengabdi di Lemhanas itu, seperti sebuah oase.

Tentunya kami berharap bahwa akan ada banyak contoh terkait kesederhanaan yang tidak hanya datang darinya, atau ia sendiri tak akan berubah, tatkala kelak Tuhan Yang Maha Kuasa takdirkan dirinya menaiki tangga jabatan yang lebih tinggi atau tertinggi di militer.

Dari seorang Mayjen TNI Farid Makruf, M.A., kami warga sipil ini belajar bahwa seorang jenderal TNI ternyata bisa sangat sederhana. Pejabat sederhana itu ada di depan mata bukan cerita kakek nenek akan pejabat di eranya. Ia ada. Ia hidup di sekitar kita. Kesederhanaan yang lahir dari tempaan hidup dan membentuk karakter serta terasa bagi mereka yang berada di sekelilingnya.

Terima kasih Mayor Jenderal TNI Farid Makruf, M.A., dengan mengikuti perjalanan anda, penulis belajar banyak hal. Mulai dari pentingnya menjadi seorang intelektual sejati yang rendah hati (tulisan pertama berjudul Mayjen TNI Farid Makruf: Jenderal Yang Rendah Hati) hingga melalui tulisan singkat ini, kami pun belajar bahwa pejabat atau seorang jenderal TNI yang sederhana itu ada, dan nyata, bukan khayalan semata.

Tentunya kami berharap, jika kelak, seorang Mayjen TNI Farid Makruf, M.A ditakdirkan menaiki tangga jabatan lebih tinggi atau bahkan tertinggi, harapannya, tulisan hasil tangkapan serpihan realitas ini tak akan berubah makna atau substansinya. Semoga.

 

BUSTOMI MENGGUGAT

Jurnalis dan Direktur Eksekutif Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS

Sumber asli: link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *