Tulungagung, – Jumat (30/5/2025), langit Desa Tugu pagi itu tampak sedikit mendung. Embun masih enggan turun dari daun padi muda, sementara lumpur sawah sudah hangat menyambut langkah-langkah pelan seorang prajurit berpakaian loreng. Dialah Sertu Abd. Qodir, Babinsa Desa Tugu dari Koramil Tipe B 0807/06 Rejotangan, yang hari itu tidak datang membawa senapan—melainkan semangat untuk membantu para petani mengolah lahan.
Dengan lengan baju digulung, ia turun langsung ke sawah, membajak, meratakan tanah, dan menyatu dengan para petani dalam sunyi yang tak pernah benar-benar sepi: suara cangkul, gemericik air, dan tawa kecil di antara peluh.
“Kalau kami bisa hadir di tengah masyarakat bukan hanya saat ada masalah keamanan, kenapa tidak hadir juga saat mereka butuh tenaga?” ujar Sertu Qodir sambil tersenyum.
Apa yang dilakukan Sertu Qodir adalah bagian dari pendampingan pertanian—sebuah wujud nyata dari peran TNI dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Tapi di Desa Tugu, peran itu tak sebatas program. Bagi warga, ia adalah teman. Teman yang ikut mencangkul saat tangan mulai lelah, dan mendengarkan keluh kesah saat pupuk sulit dicari atau panen tak sesuai harapan.
“Beliau bukan hanya datang menyapa, tapi betul-betul turun ke sawah. Itu yang membuat kami merasa tidak sendirian,” kata Pak Warno, petani setempat yang lahannya dibantu dibajak oleh Babinsa itu.
Lebih dari sekadar pekerjaan fisik, kehadiran Sertu Qodir adalah kehadiran yang menyuntikkan harapan. Di desa, di mana satu musim gagal panen bisa berarti satu tahun penuh kegelisahan, kehadiran seperti ini sungguh berarti.
“Ketahanan pangan itu bukan cuma soal hasil panen. Tapi juga soal kebersamaan. Kami ingin para petani merasa dihargai, merasa bahwa negara hadir di tengah mereka,” ungkap Sertu Qodir.
Pendampingan ini, menurutnya, akan terus dilakukan. Bukan karena kewajiban, tapi karena cinta kepada tanah air yang juga tumbuh dari lumpur sawah dan tangan-tangan para petani yang bersahaja. Mereka yang tanpa pamrih menyemai padi agar negeri ini tak lapar.
Maka hari itu, di atas tanah yang sama, seorang prajurit dan seorang petani membajak sawah bersama. Dan di antara jejak kaki di lumpur, tersimpan harapan: bahwa negeri ini akan selalu kuat—selama mereka yang mencintainya tak pernah lelah bergotong royong.
(Arwang/Sulaiman)