
Jakarta, – Tidak banyak dokter gigi yang punya pengalaman memimpin pasukan di garis depan bencana. Namun bagi Kolonel Laut (K) Muhammad Arifin, alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga (FKG UNAIR) angkatan 1993, perpaduan dua dunia itu justru menjadi medan pengabdian yang ia jalani tanpa ragu.
“Hidup itu harus memberikan manfaat bagi manusia lain,” begitu prinsip yang ia pegang teguh sejak muda. Prinsip sederhana itu mengarahkan langkahnya dari ruang praktik kedokteran gigi, memasuki dunia militer, hingga berada di garis terdepan penanganan bencana besar Indonesia.
Kecintaannya pada dunia kedokteran gigi bermula dari pengalaman pribadi yang sederhana tetapi membekas. Saat SMP, Arifin terjatuh dan gigi depannya patah. “Setelah SMA, saya ingin masuk kedokteran gigi agar gigi depan saya bisa diperbaiki,” kisahnya.
Ia diterima di FKG UNAIR dan giginya ditambal oleh kakak tingkat yang sedang praktik. Dari situ ia tahu, ia ingin berada di dunia kesehatan.
Namun darah keberanian dan kedisiplinan mengalir dari kakeknya, seorang veteran pejuang. Dorongan itu membawanya mengikuti seleksi beasiswa ABRI pada 1996. Ia lulus, diberi waktu menyelesaikan studi tiga tahun, lalu menjalani pendidikan militer penuh.
Karier militernya berjalan cepat. Arifin pernah memegang berbagai mandat strategis: komandan kompi, perwira staf personel, operasi, hingga logistik. Tetapi satu tugas membekas paling dalam yakni menjadi Komandan Batalyon Kesehatan 1 Marinir (Yonkes-1 Mar) Jakarta.
“Dua minggu saya menjabat, tsunami Banten terjadi. Saya ditunjuk sebagai komandan pasukan reaksi cepat penanggulangan bencana,” ujarnya.
Ia memimpin pendirian rumah sakit lapangan, menerobos wilayah terisolasi di Ujung Kulon, dan memastikan logistik medis serta bantuan sampai ke warga yang paling sulit dijangkau. Di momen-momen genting itu, ia bukan sekadar dokter gigi atau perwira kesehatan, ia menjadi pemimpin pasukan yang bertanggung jawab atas nyawa banyak orang.
Pengabdian Arifin tidak berhenti pada bencana alam. Berbekal pendidikan forensik dental, ia menjadi bagian dari tim Disaster Victim Identification (DVI). Tugasnya adalah mengidentifikasi korban melalui rekam gigi, salah satu metode paling akurat ketika tubuh korban sulit dikenali.
“Kalau ada korban, termasuk satgas operasi DVI pesawat jatuh, saya ikut identifikasi. Seperti Lion Air, Sriwijaya, kebakaran pabrik Tangerang, sampai kecelakaan pesawat terakhir kemarin,” tuturnya.
Ini adalah pekerjaan senyap, tidak banyak diketahui publik, tetapi sangat menentukan bagi keluarga korban.
Arifin percaya bahwa ilmu baik ilmu medis maupun manajemen kepemimpinan, hanya akan bernilai jika digunakan untuk memberi manfaat. “Walaupun saya dokter gigi, kemampuan manajerial membuat saya dapat memimpin batalyon maupun rumah sakit lapangan,” ujarnya.
Dalam tubuh TNI, ia menemukan keselarasan nilai yaitu TNI dari rakyat dan untuk rakyat. “Maka apa pun bentuk kesulitan masyarakat, harus kita bantu,” katanya.
Dari klinik kecil tempat ia dulu memperbaiki giginya, hingga ke lokasi bencana besar tempat ia memimpin pasukan, jejak pengabdian Kolonel Arifin memperlihatkan satu hal: keberanian mengabdi tidak harus datang dari satu profesi. Kadang, ia tumbuh dari pertemuan dua dunia yang tampak tak mungkin disatukan.(*)
(rils/sulaiman)













