Webinar Nasional Distrik Berisik Surabaya: Dari Mobile Legends ke Panggung Politik, Menggugah Kesadaran Gen Z

POLITIKANA1459 Views

Surabaya, – Fenomena “Ordal” atau orang dalam kini tak hanya marak di dunia kerja dan pendidikan, tetapi juga menjadi pola dominan dalam peta kekuasaan politik Indonesia. Dalam praktik politik kekinian, koneksi seringkali mengalahkan kompetensi, sementara idealisme dan etika dikalahkan oleh pragmatisme.

Direktur Institute for Strategy and Political Studies (INTRAPOLS), Bustomi, menyebut bahwa politik Indonesia hari ini mirip seperti sistem draft pick dalam gim Mobile Legends.

“Yang dipilih bukan yang paling hebat, tapi yang paling dekat,” ujarnya dalam Webinar Nasional yang diselenggarakan oleh DPD Surabaya part of Distrik Berisik, Minggu (29/6/2025) malam. Ia menyoroti bagaimana banyak jabatan publik saat ini diberikan karena kedekatan dengan elite, bukan atas dasar kemampuan atau rekam jejak.

Fenomena ini bukan tanpa data. Laporan penelitian terbaru mencatat bahwa 64% masyarakat menilai pemilihan pejabat publik lebih didasarkan pada kedekatan dengan elite partai daripada kompetensi. Sementara itu, KPK dalam laporan tahunannya (2023) mengidentifikasi nepotisme dan patronase sebagai penghambat utama reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang bersih.

Menurut Bustomi, politik patronase, mengungkapkan bahwa kultur feodal yang diwariskan dari sistem kerajaan masa lampau masih kuat mewarnai pola kepemimpinan di Indonesia. Loyalitas kepada tokoh, bukan gagasan, membuat politik menjadi ajang pengabdian kepada “atasan” ketimbang rakyat.

“Partai politik belum jadi wadah kaderisasi yang adil dan terbuka. Mereka seperti klub eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh yang punya uang dan koneksi,” lanjut Bustomi.

Tapi ia mengajak peserta webinar untuk melihat bahwa ordal menjadi fakta sosial budaya dan politik tak sepenuhnya harus ditolak. “Selama pemilihan ordal ini sesuai kapasitas dan kapabilitasnya. Sesuai sistem meritokrasi ya seharusnya memang tak harus ditolak,” pesannya.

Riset Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (2022) bahkan menyebut bahwa biaya untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dapat mencapai Rp20 hingga Rp50 miliar, angka yang nyaris mustahil dijangkau oleh anak muda atau aktivis tanpa sokongan elite.

Di sisi lain, Generasi Z justru menunjukkan tingkat skeptisisme yang tinggi terhadap institusi politik. Mantan Presiden BEM Universitas Airlangga, Aulia Thariq Akbar, menilai bahwa korupsi, kegagalan pemerintah, dan minimnya representasi relevan membuat Gen Z menjauh dari politik formal.

“Banyak dari kami melihat politik sebagai panggung yang penuh sandiwara. Skandal dan bias informasi membuat kami ragu untuk percaya,” katanya.

Data Komisi Pemilihan Umum (2024) menunjukkan bahwa partisipasi pemilih muda justru menurun sebanyak 6% dibandingkan Pemilu 2019. Hal ini mencerminkan ketidakpercayaan mereka terhadap efektivitas sistem politik yang ada.

Namun, Aulia menambahkan bahwa harapan masih ada. “Generasi Z sekarang kritis dan berbasis data. Mereka aktif di media sosial, terlibat dalam gerakan sosial, dan mulai membangun narasi tandingan,” ujarnya.

Dosen FISIP UNIJA Sumenep, Muhammad Hidayaturrahman, menekankan pentingnya menjadikan Pancasila sebagai basis etika politik. “Kalau pemimpin tak jadi manusia Pancasilais, maka kita harus ambil alih posisi itu. Mahasiswa dan pemuda harus siap tampil dan bertanggung jawab,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa tokoh muda yang berhasil membawa suara kritis ke ruang publik, seperti aktivis Madura, Jailani, dan influencer asal Lampung yang bersuara dari Australia. “Mereka ini bentuk nyata dari voice for the voiceless,” ujarnya.

Hidayaturrahman menegaskan, kritik keras dalam bentuk satire atau aksi jalanan adalah bagian dari demokrasi, selama tidak melanggar hak orang lain. “Demokrasi itu memang berisik, tapi tujuannya bukan chaos. Tujuannya menjaga agar penguasa tidak melenceng dari nilai Pancasila,” katanya.

Bustomi mengajak anak muda untuk tak hanya menjadi penonton dalam politik, tapi juga pemain utama. Ia bahkan menggunakan istilah Mobile Legends untuk menjelaskan peran ideal pemuda dalam politik.

“Kita butuh lebih banyak ‘jungler’ di politik: mereka yang kerja dalam diam tapi berdampak besar. Bukan sekadar pamer skin,” ucapnya. Ia mengajak anak muda agar tidak menyerah pada sistem, tapi justru merebutnya dengan cara-cara yang cerdas dan kolektif.

“Kalau kamu bisa push rank sampai Mythic di game, kenapa tidak bisa push perubahan di dunia nyata? Dan kuncinya dimulai dengan literasi, bangun networking dan konsisten bersuara berupa voice bukan noise hingga tidak perlu terjebak pada kontroversi atau sensasi tapi fokus substansi,” tutupnya.(*)

Editor: Sulaiman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *