Surabaya – Kunjungan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur ke Tiongkok bukan sekadar lawatan budaya dan silaturahmi antaragama. Lebih dari itu, perjalanan ini menjadi ruang perenungan mendalam tentang bagaimana ajaran Islam dapat sejalan dengan upaya menjaga lingkungan hidup.
Rombongan PWNU Jatim yang dipimpin oleh KH A. Matin Djawahir (Wakil Rais Syuriah) dan KH Kikin Abdul Hakim (Ketua Tanfidziyah) berangkat sejak 27 Oktober 2025. Mereka didampingi akademisi NU seperti Prof. Dr. Suparto Wijoyo dari Universitas Airlangga dan Prof. Maskuri Bakri dari Universitas Islam Malang.
Di Tiongkok, mereka mengunjungi Kota Lanzhou dan Kota Nanjing, dua kota penting dalam sejarah penyebaran Islam dan peradaban air di negeri itu.
Nama Laksamana Cheng Ho selalu menjadi simbol kedamaian bagi umat Islam di Indonesia. Dari Nanjing -kota kelahirannya- Cheng Ho berlayar ke Nusantara membawa pesan persahabatan lintas bangsa dan agama. Di kota itu pula, rombongan PWNU Jatim menapaktilasi jejak sejarah Islam di Masjid Jinggue, masjid tertua di Nanjing.
Mereka disambut hangat oleh Dai, Ketua Asosiasi Islam Nanjing, dan Abdurrahman, Imam Masjid Jinggue. Dalam dialog tersebut, para tokoh Islam Tiongkok menjelaskan bagaimana pemerintah setempat memberikan ruang bagi semua agama untuk tumbuh secara damai.
“Negara kami menjamin kebebasan beragama, termasuk bagi umat Islam. Bahkan bagi warga yang tidak beragama sekalipun, hak-haknya tetap dilindungi,” ujar Abdurrahman, sebagaimana dikutip Prof. Suparto Wijoyo, Kamis (30/10/2025).
Menanggapi hal itu, KH Kikin Abdul Hakim menegaskan bahwa semangat saling menghormati dan bersaudara adalah inti ajaran Islam. “Kita ini sesungguhnya satu keluarga besar manusia. Maka kewajiban kita adalah berbuat baik dan bertutur santun kepada siapa pun,” tuturnya.
Islam dan Alam: Dua Sisi dari Iman
Selain berdialog tentang keagamaan, rombongan PWNU Jatim juga belajar banyak dari cara Tiongkok mengelola lingkungan hidupnya. Mereka mengunjungi kawasan Sungai Kuning (Huang He) dan Sungai Yangtze (Chang Jiang), dua sungai besar yang menjadi nadi peradaban Asia Timur. Dari sana, para kiai dan akademisi NU menyaksikan langsung bagaimana Tiongkok menjaga sungai-sungai dan pepohonan tuanya dengan sangat disiplin.
“Kami menyaksikan betapa seriusnya mereka menjaga alam. Bahkan pohon tua pun diberi sertifikat resmi dan dirawat dengan aturan ketat. Siapa yang menebangnya bisa dipidana,” ungkap Prof. Suparto Wijoyo dengan nada kagum.
Menurutnya, apa yang dilakukan Tiongkok sejalan dengan nilai-nilai Islam tentang amanah manusia sebagai khalifatullah fil ardh, pemimpin di muka bumi.
“Islam sejatinya mengajarkan cinta lingkungan. Menjaga air, tanah, dan udara adalah bentuk pengabdian kepada Sang Pencipta,” ujarnya.
KH Kikin Abdul Hakim menambahkan, pengalaman itu menjadi pengingat penting bagi umat Islam Indonesia agar lebih serius dalam menjaga kelestarian alam.
“Kita sering lupa bahwa kebersihan, keseimbangan, dan penghijauan adalah bagian dari iman. Lingkungan hidup bukan sekadar urusan duniawi, tapi juga ukhrawi,” katanya.
Selama berada di Tiongkok, delegasi PWNU Jatim juga berdialog dengan Islamic Association of Gansu Province, Imam Masjid Xi Guan H. Umar Mukhtar, dan Hajjah Ma Aisyah dari Kementerian Kerukunan Beragama Tiongkok. Diskusi-diskusi itu membuka wawasan tentang bagaimana Islam di Tiongkok hidup dalam wajah moderat dan toleran, berdampingan dengan penganut agama lain secara damai.
“Kami melihat wajah Islam yang teduh, penuh harmoni, dan cinta tanah air. Itulah Islam yang rahmatan lil ‘alamin,” tutur Prof. Maskuri Bakri.
Dari perjalanan ini, PWNU Jatim pulang dengan semangat baru bahwa Islam dan pelestarian lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan. Keduanya adalah dua sisi dari pengabdian manusia kepada Tuhan—membangun bumi, bukan merusaknya.
“Dari Tiongkok kami belajar, kemajuan bukan berarti meninggalkan nilai-nilai spiritual. Justru di sanalah letak kemuliaan manusia: saat iman berjalan seiring dengan ilmu dan kepedulian terhadap alam,” pungkas Prof. Suparto Wijoyo.(*)
(rils/sulaiman)







