Dari Kebiasaan Membaca ke Panggung Dunia Sastra

Alberta Natasia Adji, Alumnus UNAIR, Menembus Pasar Internasional lewat Novel The Longing

Kultural16 Views

Surabaya, – Kegemaran membaca sejak masa kanak-kanak mengantarkan Alberta Natasia Adji, alumnus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), menapaki jalur sastra hingga ke panggung internasional. Novel terbarunya, The Longing, terbit melalui penerbit global Penguin Random House Asia Tenggara dan mulai beredar di pasar buku internasional.

Minat Natasia terhadap dunia sastra tumbuh dari lingkungan keluarga yang menempatkan membaca sebagai kebiasaan sehari-hari. Sejak kecil, orang tuanya menanamkan kesadaran bahwa membaca dan menulis merupakan fondasi penting untuk memperluas wawasan.

“Ibu saya sangat gemar membaca dan menekankan pentingnya kemampuan membaca dan menulis sejak saya dan adik masih kecil. Beliau tidak pernah membatasi genre bacaan saya, bahkan sering menghadiahkan buku cerita seperti The Tale of Peter Rabbit dan The Tale of the Flopsy Bunnies karya Beatrix Potter,” ujar Natasia, Rabu (31/12/2025).

Seiring bertambahnya usia, bacaan Natasia kian beragam, mulai dari sastra populer hingga karya-karya klasik. Ketika menempuh pendidikan S1 Bahasa dan Sastra Inggris serta S2 Kajian Sastra dan Budaya di UNAIR, ia bersentuhan langsung dengan khazanah sastra klasik Inggris dan Indonesia.

“Hampir semua buku yang saya baca selalu menarik, karena masing-masing membawa saya pada era, tempat, dan kehidupan personal tokoh-tokoh yang dinamis,” tuturnya.

Ketertarikan pada sastra tidak berhenti pada aktivitas membaca. Natasia mulai menyalurkan minatnya melalui kepenulisan dengan menerbitkan dua novel berbahasa Indonesia, Youth Adagio (2013) dan Dante: The Faery and the Wizard (2014). Pada Agustus 2025, ia kembali menghadirkan karya terbarunya, The Longing, yang ditulis dalam bahasa Inggris.

Novel The Longing mengisahkan tiga perempuan keturunan Tionghoa yang hidup pada tiga periode berbeda dalam sejarah Indonesia, yakni era Soekarno, Orde Baru, dan Reformasi. Ketiganya menghadapi beragam stereotip yang berkaitan dengan identitas etnis, gender, agama, serta kondisi sosial ekonomi yang kerap membatasi pilihan dan arah hidup.

Menurut Natasia, proses penulisan novel tersebut tak lepas dari kisah keluarganya sendiri. “Proses penulisan secara intensif saya lakukan di Perth, Australia Barat, terutama saat pandemi Covid-19. Saya sering menelepon ibu saya di Surabaya untuk menggali cerita tentang mendiang nenek, pengalaman hidup ibu saya, hingga kenangan masa kecil saya yang mulai samar,” katanya.

Ia menambahkan, bekal akademik yang diperoleh selama menempuh studi di FIB UNAIR berperan penting dalam memperkaya perspektif karyanya. Melalui kajian sejarah dan sastra Tionghoa Indonesia, ia memperoleh konteks yang kuat untuk membangun latar cerita. Pengalaman studi lanjut di Edith Cowan University (ECU), Australia Barat, juga memberinya akses pada sumber-sumber akademik internasional.

Dalam perjalanannya sebagai sastrawan, Natasia mengakui tantangan utama datang dari ketatnya persaingan di industri penerbitan. Selektivitas penerbit menuntut penulis untuk adaptif sekaligus memahami karakter pembaca.

Kepada generasi muda yang ingin menekuni dunia sastra, Natasia berpesan agar terus mengasah proses kreatif dan menjaga konsistensi berkarya. “Perbanyak membaca, menulis, dan mengamati sekitar. Jangan mudah menyerah, dan pahami genre yang ingin ditulis. Tidak perlu terlalu terpaku pada tren, karena saat buku terbit, tren bisa saja sudah berubah,” ujarnya.(*)

(Khefti/Sulaiman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *