Ponorogo, – Di bawah gemerlap lampu panggung terbuka Alun-Alun Kabupaten Ponorogo, ratusan penari muda dari berbagai SMP tampil dalam kemegahan yang tak biasa. Mereka menari bukan sekadar untuk memperebutkan piala, tapi untuk sebuah kehormatan: menjaga hidupnya warisan budaya yang telah melintasi zaman, Reog Ponorogo.
Ajang Festival Reog Remaja (FRR) XXI, yang menjadi bagian utama dari rangkaian Grebeg Suro 2025, bukan sekadar kompetisi tahunan. Di sinilah masa depan Reog dipertaruhkan—dan tahun ini, masa depan itu mendapat perhatian langsung dari Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon.
“Saya bersyukur bisa hadir langsung dan menyaksikan betapa besar semangat anak-anak muda Ponorogo dalam melestarikan budaya daerahnya. Ini bukan sekadar pertunjukan, ini adalah bukti bahwa Reog masih hidup dan berkembang,” ujar Fadli dalam sambutannya di malam penutupan, pada Kamis (25/6/2025) lalu.
Salah satu momen paling menggetarkan adalah saat grup Singo Taruno Budoyo dari SMPN 1 Ponorogo diumumkan sebagai juara pertama FRR XXI. Riuh tepuk tangan pecah, sorot mata para orang tua berkaca-kaca, dan senyum bangga para pelatih memenuhi panggung. Di pundak anak-anak inilah tradisi besar itu berpijak dan melangkah ke masa depan.
Tak hanya tampil energik dan presisi, grup ini juga berhasil menyapu penghargaan individu yakni Afif Kurniawan sebagai penata tari terbaik, dan Suwandi Widianto sebagai penata musik terbaik.
Kompetisi tahun ini berlangsung pada 18–21 Juni dan menampilkan 10 grup terbaik dari SMP se-Ponorogo. Kualitas penampilan yang merata membuat juri harus bekerja ekstra untuk menentukan pemenang.
Grup Singo Sumowicitro dari SMPN 2 Kauman, juara tahun lalu, harus puas di posisi kedua. Meski begitu, Kepala Sekolah Indarto Bandono tetap menunjukkan sikap sportif dan optimistis.
“Kami mengakui kualitas peserta sangat merata. Semua tampil luar biasa. Tahun depan kami akan kembali mencoba menjadi yang terbaik,” ucapnya.
Sementara itu, posisi ketiga diraih oleh Singo Bayi Djoyo Manggolo dari SMPN 3 Ponorogo, disusul Jaya Manggala dari SMPN 2 Ponorogo, dan Sardula Pratama dari SMPN 6 Ponorogo di posisi kelima. Grup-grup lain yang masuk 10 besar pun menunjukkan kualitas pertunjukan yang kompetitif dan layak diacungi jempol.
Apresiasi dari Menteri Kebudayaan menjadi pengakuan penting, tidak hanya bagi para pemenang, tetapi juga bagi seluruh pelajar, pelatih, orang tua, dan masyarakat Ponorogo yang dengan gigih menjaga budaya tetap hidup. Bagi Fadli Zon, kehadiran langsungnya bukan hanya seremoni, tetapi sebuah pernyataan bahwa negara hadir bersama rakyat untuk merawat budaya lokal.
“Saya berharap Grebeg Suro dan Festival Reog Remaja ini bisa menjadi contoh nasional. Jangan sampai anak-anak kita hanya kenal budaya luar. Reog harus terus ditanamkan sejak dini, seperti yang dilakukan di Ponorogo ini,” ujarnya disambut tepuk tangan panjang penonton.
Grebeg Suro bukan hanya perayaan tahun baru Islam di Ponorogo. Ia adalah jantung kebudayaan yang berdetak setiap tahun, menghidupkan panggung-panggung seni, mengembalikan ingatan kolektif masyarakat pada akar mereka, dan menjadi ajang regenerasi seni yang nyata.
Di antara asap dupa, deru kendang, dan suara barongan yang menggelegar, tampak jelas satu pesan yang mengalir deras dari panggung itu: Reog bukan masa lalu. Ia adalah masa kini. Dan akan terus hidup di masa depan, selama ada anak-anak yang bersedia menarikan tubuhnya untuk budaya, dan negara yang terus memberi ruang untuk mereka tumbuh.(*)
Kontributor: Muh Nurcholis
Editor: Sulaiman