SURABAYA – Fenomena penyakit antraks yang menjangkiti Gunungkidul Yogyakarta beberapa waktu lalu yang hingga memakan korban meninggal dunia membuat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan (BEM FKH) Universitas Airlangga (UNAIR) bersama Airlangga Public Health Student Assosiation (APHSA) UNAIR dan RSUD Dr. Soetomo prihatin. Terkait hal itu, sebagai bentuk edukasi dan kepedulian mereka terhadap isu-isu kesehatan, ketiganya berkolaborasi menyelenggarakan Webinar Antraks bertajuk “Bahaya Antraks di Sekitar Kita”.
Acara berlangsung pada Sabtu (22/7/2023) mulai pukul 09.00 WIB melalui aplikasi zoom meeting. Webinar ini merupakan salah satu kegiatan pengabdian masyarakat yang bertujuan membahas antraks dari berbagai aspek terkait. Sebanyak 109 peserta turut hadir dalam acara ini.
Kegiatan yang dipandu oleh Farah Fadhilah, S.K.H. menghadirkan tiga pembicara diantaranya Laura Navika Yamani, S.Si., M.Si., Ph.D., yang merupakan Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM Unair), Dr. drh. Nusdianto Triakoso, M.P yang merupakan Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga (FKH Unair) dan dr. Ratna Kusumawati, M.Ked.Klin., Sp.MK. yang merupakan Staf KSM Mikrobiologi Klinik RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Mengawali presentasi, Laura Navika Yamani, S.Si., M.Si., Ph.D., membahas materi “Epidemilogi Antraks”. Dalam pemaparannya, ia menjelaskan bahwa penyakit antraks bersifat universal, tidak spesifik pada salah satu daerah. Penyakit antraks tesebar di seluruh dunia, termasuk Indonesia pun menjadi daerah endemis antraks.
“Eradikasi antraks menjadi tantangan. Adanya spora antraks di tanah dapat bertahan selama beberapa tahun, sehingga daerah-daerah yang telah (terkontaminasi) antraks disebut sebagai Daerah Antraks,” paparnya.
Sementara itu, Dr. drh. Nusdianto Triakoso, M.P. dengan topik “Antraks pada Hewan”, menekankan bahwa antraks merupakan penyakit infeksius yang tidak menular (non contagious) dan bersifat zoonoosis (penularan dari hewan ke manusia).
“Kejadian antraks pada manusia tidak langsung dari spora antraks, tetapi setelah mengkonsumsi hewan penderita antraks. Untuk itu, masalah ini harus diselesaikan melalui lintas sektor,” jelasnya.
Menurut dr. Ratna Kusumawati, M.Ked.Klin., Sp.MK. yang membawakan topik “Antraks pada Manusia” memaparkan bahwa tipe antraks terbanyak pada manusia yaitu antraks kulit.
Ketiga pembicara sepakat bahwa upaya pengendalian antraks dapat melalui pendekatan one health yaitu kolaborasi dari berbagai sektor baik dari kesehatan hewan, manusia, maupun lingkungan. Selain itu, edukasi perilaku kepada masyarakat penting dilakukan.
(Aisah/Laura)







