
Surabaya, – Dari bilik pesantren ke layar sinema, dari kitab kuning ke kamera digital. Semangat baru kaum santri kini menyala di jantung Surabaya. Festival Film Santri edisi pertama resmi dibuka di Pos Bloc, Jl. Kebon Rojo, Surabaya, pada 24-25 Oktober 2025. Momentum ini bertepatan dengan peringatan Hari Santri Nasional 2025, menandai babak baru perjumpaan antara dunia pesantren dan ekosistem sinema Indonesia.
Festival Film Santri hadir bukan sekadar ajang tontonan, melainkan medan baru ekspresi kaum santri, sebuah “pos pertempuran” kreatif untuk menegaskan bahwa nilai-nilai Islam dan semangat kebangsaan bisa bertransformasi lewat medium layar.
Dewan Pembina Festival Film Santri, Mas Dwi Sadoellah dari Pondok Pesantren Sidogiri, menyebut gelaran ini sebagai “bahasa lain dari silaturahmi” , sebuah jembatan antara khazanah keilmuan pesantren dan geliat industri kreatif modern.
“Festival ini menawarkan hangatnya persaudaraan yang dirajut dari pengetahuan, ekspresi keislaman, dan medium baru yang sesuai dengan semangat zaman,” ujarnya dalam keterangan resmi ke media dan diterima redaksi media ini, Sabtu (25/10/2025) dini hari.
Direktur Festival, Agoes Sam, menegaskan bahwa film adalah medan dakwah dan perjuangan ide. “Pesantren selama ini adalah pusat ilmu dan kebudayaan. Kini santri berbicara kepada zamannya lewat film sebagai medium yang artikulatif, peka, dan kuat menyampaikan nilai,” tegasnya.
Mengusung tema “Iqra”, festival ini mengajak publik membaca kehidupan dan perubahan zaman. Tak sekadar membaca teks, tetapi juga membaca tanda-tanda zaman, tantangan kemanusiaan, serta perubahan sosial yang terus bergulir.
Direktur Program, Yogi Ishabib, menjelaskan, “Tema Iqra kami terjemahkan sebagai ajakan untuk saling membaca: film, santri, dan publik. Sebuah titian muhibah yang mempertemukan pesantren dengan dunia kreatif.”
124 Film Bertarung, Santriwati Angkat Bicara
Sebanyak 124 film dari berbagai daerah berkompetisi dalam program utama festival ini. Film-film tersebut telah melalui proses kurasi ketat oleh tim juri yang terdiri dari Afrizal Malna, Hikmat Darmawan, dan Danial Rifki.
Selain kompetisi, festival juga menayangkan film istimewa “Nyanyi Sunyi dalam Rantang” (Whispers in The Dabbas) karya maestro Garin Nugroho, sebuah simbol bahwa dunia santri dan sineas nasional kini berada dalam satu orbit perjuangan kebudayaan.
Beragam workshop turut digelar mulai dari pengembangan ide cerita bersama Magisa Sinaria, “Workshop Sound Location“ oleh Guruh Satria (Ampersound Post), hingga “Workshop Kritik Film” oleh kolektif Cineauf.
Sementara itu, “Santriwati Talk” menjadi ruang refleksi perempuan pesantren dalam dunia kreatif, dipandu oleh Uswah Syauqie dari Ponpes Al Azhar Mojokerto dan Veronica Ajeng Larasati selaku Ketua Sindikasi Jawa Timur.
Dalam sejarah panjang bangsa, pesantren selalu menjadi benteng moral dan kultural. Kini, melalui layar sinema, santri kembali menegaskan perannya sebagai penjaga nilai dan pembaca zaman.
Festival Film Santri 2025 menjadi panggung kebudayaan yang strategis, tempat dimana kaum santri, sineas, dan masyarakat saling bertukar pandang, menafsir ulang nilai, serta menulis masa depan Islam dan kebangsaan dalam bahasa gambar.
“Inilah generasi baru santri,” ujar Agoes Sam menutup. “Yang tak hanya membaca kitab, tapi juga membaca dunia dengan kamera sebagai senjatanya.”
(rils/sulaiman)






