Asupan Makanan MBG: Antara Syukur dan Alarm Perbaikan

POLITIKANA131 Views

 

 

Di balik senyum para siswa saat mobil MBG (Makan Bergizi Gratis) tiba, tersimpan harapan besar bahwa setiap anak Indonesia berhak atas gizi yang layak, makanan yang aman, dan suasana belajar yang membahagiakan. Namun, harapan itu bisa tergelincir bila kepercayaan terhadap makanan yang disajikan mulai goyah. Dan keracunan adalah pemicu paling tajam dari keraguan itu.

Makanan bukan sekadar zat gizi. Ia adalah simbol kasih sayang, perhatian, dan tanggung jawab. Ketika siswa menerima asupan MBG dengan hati lapang, lalu berdoa bersama sebelum makan, itulah momen pendidikan karakter yang tak ternilai. Di beberapa dapur SPPG yang telah berkhidmat sejak 6 Januari 2025, suasana ini telah menjadi budaya. Murid-murid berlari mengambil makanan, guru memimpin doa, dan semua menikmati dengan rasa syukur. Inilah MBG yang ideal, menumbuhkan generasi beradab.

Namun, semua bisa berubah murung saat satu kasus keracunan muncul. Kepercayaan yang dibangun perlahan bisa runtuh seketika. Dan dalam dunia makanan, kepercayaan adalah segalanya. Ia menumbuhkan selera, menghidupkan semangat, dan menjaga keberlangsungan program.

Pada Kamis, 18 September 2025, sahabat saya Mas Ali Ahsin dari Lamongan bertanya, “Mengapa siswa SMADA Lamongan keracunan?” Saya bukan ahli kesehatan, tapi saya mengamati bahwa setiap kali ada kasus keracunan dari dapur SPPG, lauknya selalu ayam. Bukan daging sapi, bukan ikan patin, bukan bandeng.

Literasi kesehatan menyebutkan bahwa bakteri adalah penyebab utama keracunan. Ia tak datang tiba-tiba, tapi tumbuh subur saat kebersihan bahan baku terabaikan, atau proses memasak tidak mencapai suhu aman. Ayam yang diterima sore atau malam, lalu diolah dini hari tanpa penanganan memadai, bisa menjadi ladang bakteri. Ditambah alat dapur yang tak steril, tangan petugas yang kurang bersih, atau makanan yang disajikan terlalu lama, semuanya itu membuka pintu bagi musuh tak terlihat itu.

Gejalanya nyata mulai diare, muntah, demam, hingga dehidrasi berat. Dan dampaknya bukan hanya pada tubuh siswa, tapi juga pada kepercayaan publik terhadap program MBG.

Keracunan bukan sekadar insiden. Ia adalah alarm. Alarm bahwa sistem SPPG perlu ditinjau ulang. Bahwa khidmat memasak bukan hanya soal niat baik, tapi juga soal kompetensi dan ketelitian.

Maka, para relawan di dapur SPPG BGN perlu melangkah lebih jauh:

– Memiliki sertifikat penjamah makanan sebagai bukti kompetensi.
– Menjaga kebersihan bahan baku dan lingkungan dapur dengan penuh khidmat.
– Memasak sesuai SOP, memastikan suhu dan waktu pengolahan aman.
– Menjalankan inspeksi fisik dan uji laboratorium secara berkala.
– Menyertakan doa dan sholawat sebagai ruh pelayanan.

MBG bukan sekadar program makan. Ia adalah amanah. Dan amanah ini harus dijaga dengan ilmu, cinta, dan keteladanan. Mari kita jaga kepercayaan itu. Karena dari kepercayaan, tumbuhlah generasi yang sehat, cerdas, dan beradab. Semoga.

 

IMAM MAWARDI RIDLWAN

Tokoh NU dan Dewan Pembina Yayasan Bhakti Relawan Advokat Pejuang Islam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *