
Tulungagung, – Di tanah yang lama akrab dengan kekeringan, suara mesin bor pada suatu pagi di Tulungagung Selatan menjadi penanda harapan baru. Dari sumur itu, air mengalir—bukan hanya ke pipa-pipa rumah warga, tetapi juga ke ruang hidup mereka. Di balik program tersebut, ada sosok penyuluh sosial, Mohammad Fauzi Setiawan, yang memilih terjun dari desa ke desa untuk memetakan masalah dan menggerakkan aksi.
Fauzi memulai inisiatif bernama Aksi Merdeka Air dan Tanaman untuk Alam (AMERTA), sebuah gerakan yang tidak hanya memperjuangkan akses air bersih, tetapi juga membangun kemandirian ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan pertanian dan pengembangan jenama kopi lokal.
“Selama ini bantuan air tangki hanya menyelesaikan dahaga sesaat. Akar masalahnya ada pada alih fungsi lahan yang membuat sumber air mati,” ujar Fauzi, Rabu (12/11/2025).
Program AMERTA dirancang dengan pendekatan bertahap. Intervensi dimulai dari pemenuhan kebutuhan paling mendasar: air bersih. Fauzi dan jejaring relawannya melakukan pengeboran sumur dalam hingga 86 meter untuk memastikan kualitas air yang layak konsumsi.
Sebelumnya, warga harus berjalan kaki sejauh 400 meter menuruni tebing untuk mendapatkan air. Kini, sekitar 250 kepala keluarga bisa mengakses air langsung dari rumah. “Rasanya luar biasa melihat ibu-ibu tidak lagi menggendong jeriken air dari bawah lembah,” kata Fauzi.
Setelah kebutuhan air terpenuhi, Fauzi tidak berhenti. Ia melanjutkan intervensi ke bidang ekonomi. Bersama warga, ia mengembangkan pertanian berkelanjutan dan mendampingi pelaku UMKM kopi lokal.
“Kopi punya nilai ekologis dan nilai ekonomi. Tanamannya menjaga tanah, produknya punya pasar. Ini simbiosis yang menguntungkan,” jelasnya.
Pendampingan dilakukan dari proses budidaya, pengolahan pascapanen, hingga penjenamaan produk. Melalui pendekatan ini, warga tidak hanya menerima bantuan, tetapi juga menguasai rantai nilai ekonomi.
Aksi yang dilakukan Fauzi bukan program satu kali datang, selesai, lalu pergi. Ia menghabiskan waktunya berpindah dari desa ke desa, memetakan kebutuhan, mendengar aspirasi warga, dan melibatkan mereka sebagai aktor utama perubahan.
“Desa tidak boleh hanya menjadi objek. Mereka harus menjadi subjek dari pembangunan,” ujarnya.
Dari sana, pendekatan empat tahap AMERTA terbentuk yaitu penyediaan air bersih; pertanian berkelanjutan; processing produk lokal; dan pengembangan wisata desa Dengan pola ini, perubahan terjadi bukan karena bantuan, tetapi karena keterlibatan dan kemandirian warga.
Bagi Fauzi, sumur itu bukan akhir, melainkan pintu masuk menuju transformasi ekologi dan ekonomi Tulungagung Selatan. “Kami ingin daerah ini bukan hanya punya air, tetapi juga mandiri secara ekonomi,” katanya. “Dan yang paling penting, program seperti ini bisa direplikasi di banyak daerah lain.” imbuhnya mengakhiri keterangan.(*)
(pkip/sulaiman)







