Santri, Ulama, dan Jejak Perjuangan dari Kalanganyar

Lembaga Ma’arif NU At-Taqwa Gelar Upacara Hari Santri 2025

Religiusitas57 Views

Lamongan, – Langit pagi di Kalanganyar, Kecamatan Karanggeneng, Kabupaten Lamongan, tampak bening ketika ratusan santri berbaris rapi di halaman Lembaga Ma’arif NU At-Taqwa, Rabu (22/10/2025). Diiringi semilir angin sawah, bendera merah putih perlahan naik ke puncak tiang, sementara lantunan sholawat dan lagu “Ya Lal Wathan” menggema mengiringinya.

Suasana khidmat membalut kompleks madrasah yang menaungi berbagai jenjang pendidikan mulai dari PAUD, TK, MI, MTs, hingga TPQ Asyafi’iyah An-Nahdliyah. Sejak pukul tujuh pagi, halaman madrasah itu menjelma menjadi ruang perjumpaan antara nilai, sejarah, dan harapan.

Hari Santri 2025 bukan sekadar seremoni bagi keluarga besar Ma’arif At-Taqwa. Ia menjadi momen peneguhan jati diri santri sekaligus pengingat tentang panjangnya jejak perjuangan para ulama.

Dari barisan depan, anak-anak PAUD dan TK tampak antusias mengenakan seragam putih bersih. Senyum polos mereka berpadu dengan kibaran peci dan kerudung hijau khas NU. Di belakangnya, para santri MI dan MTs berdiri tegap, sementara guru-guru mengitari mereka dengan pandangan penuh bangga.

Kepala MI At-Taqwa, Ismail, menegaskan bahwa Hari Santri bukan hanya peringatan tahunan, melainkan sarana menanamkan kesadaran historis dan tanggung jawab moral kepada generasi penerus.

“Menjadi santri berarti siap meneruskan perjuangan para ulama NU, menjaga nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah, serta berkhidmah untuk agama dan bangsa,” ujarnya di hadapan peserta upacara.

Senada, Sonhaji, Kepala MTs At-Taqwa, menambahkan bahwa peringatan ini menjadi media penguatan karakter kebangsaan.

“Santri adalah benteng moral bangsa. Mereka harus menjadi teladan dalam ilmu, ibadah, maupun perilaku sosial,” katanya lantang.

Dari sisi pendidikan anak usia dini, Ainul, Kepala PAUD dan TK At-Taqwa, menilai penanaman cinta ulama dan masjid sejak dini merupakan fondasi utama.

“Kami membiasakan anak-anak untuk mencintai ulama, masjid, dan kegiatan keagamaan. Dari hal-hal kecil itulah tumbuh kecintaan terhadap ilmu dan semangat perjuangan Islam,” tuturnya lembut.

Sementara Zakiya, Kepala TPQ An-Nahdliyah, berharap kegiatan ini menjadi wasilah menumbuhkan semangat para santri meniti jalan ilmu.

“Semoga lahir generasi Qurani, yang tak hanya pandai membaca Al-Qur’an, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan,” ujarnya.

Usai upacara, seluruh peserta berjalan tertib menuju makam pendiri Madrasah At-Taqwa, KH. Jayadi, yang berjarak tak jauh dari madrasah. Suasana khusyuk menyelimuti iring-iringan yang melantunkan sholawat dan tahlil dipimpin para ustadz senior.

KH. Jayadi dikenal sebagai murid KH. Kholil Bangkalan, guru dari KH. Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Bagi keluarga besar Ma’arif At-Taqwa, ziarah ini bukan sekadar tradisi, melainkan cara menyambung sanad keilmuan dan spiritualitas dengan para pendahulu.

“Ziarah bukan hanya mengenang, tapi menyambung ruh perjuangan. Di pusara beliau, kita belajar melanjutkan apa yang telah dimulai,” ujar Ismail menegaskan makna spiritual kegiatan itu.

Ziarah, dalam tradisi pesantren, adalah bentuk kesadaran sejarah bahwa ilmu dan perjuangan tidak lahir dari ruang hampa. KH. Jayadi telah mewariskan bukan hanya lembaga pendidikan, tapi juga nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan pengabdian, nilai yang hingga kini menjadi napas hidup para santri.

Bagi warga Kalanganyar, peringatan Hari Santri di Ma’arif At-Taqwa sudah menjadi tradisi tahunan yang selalu ditunggu. Tahun ini terasa lebih istimewa karena selain upacara dan ziarah, pihak madrasah berencana memperluas rute ziarah ke sejumlah makam ulama di wilayah Lamongan dan sekitarnya.

“InsyaAllah ke depan kami akan menambah titik ziarah ke makam para ulama pejuang di Karanggeneng dan Paciran. Anak-anak perlu mengenal sosok-sosok yang berjasa bagi agama dan bangsa,” jelas Ismail di sela kegiatan.

Baginya, mengenalkan sejarah perjuangan ulama sama pentingnya dengan mengajarkan ilmu agama. Dari sana tumbuh rasa hormat, semangat juang, dan kesadaran identitas sebagai santri.

Peringatan Hari Santri memiliki makna yang jauh melampaui atribut sarung dan peci. Ia adalah momentum meneguhkan ruh perjuangan ulama dan merefleksikan peran santri dalam menjawab tantangan zaman.

Di tengah derasnya arus modernitas dan digitalisasi, lembaga pendidikan seperti Ma’arif At-Taqwa menjadi benteng nilai dan moral. Melalui tradisi pesantren, nilai tawadhu’, cinta tanah air, dan moderasi beragama diwariskan dari generasi ke generasi.

Di tempat ini, pendidikan tidak berhenti pada teori. Ia dihidupi melalui praktik disiplin dari barisan upacara, hormat kepada guru, cinta ulama lewat ziarah, dan solidaritas melalui kebersamaan. Semua itu membentuk karakter utuh yakni menajamkan akal sekaligus mengasah hati.

Menjelang siang, halaman madrasah kembali ramai. Anak-anak TK melambai riang kepada guru mereka, para santri MTs sibuk mendokumentasikan kegiatan, sementara guru-guru menata kembali perlengkapan dengan tertib.

Sebelum menutup acara, seluruh peserta menengadahkan tangan, berdoa agar semangat perjuangan para ulama terus hidup di hati para santri.

“Santri bukan masa lalu, tapi masa depan bangsa. Dari madrasah ini semoga lahir generasi yang tangguh, berilmu, dan berakhlak,” ujar Sonhaji menutup kegiatan.

Dari Kalanganyar, nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan terus disemai. Di bawah kibaran bendera dan doa para guru, pendidikan di Ma’arif At-Taqwa bukan sekadar transfer ilmu tapi ia adalah penerusan estafet perjuangan ulama, yang tak pernah padam di bumi Lamongan.(*)

(Miftakhul Khoiri/Sulaiman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *