Papua, Daun Pisang, dan Persaudaraan: Cerita yang Tak Tertulis di Peta

Humanitas258 Views

Mage’abume, – Di jantung pegunungan Papua, tempat kabut turun lebih dulu dari cahaya pagi dan angin berbisik dalam sunyi yang panjang, lahirlah sebuah cerita yang tak tercetak di peta. Sebuah kisah sederhana namun membekas di hati, tentang tentara yang duduk bersila di tanah, makan di atas daun pisang, dan membuka pelukan bagi sesama manusia.

Di Kampung Wombru, Distrik Mage’Abume, para prajurit dari Pos Pintu Jawa Satgas Yonif 700/Wira Yudha Cakti datang bukan dengan derap langkah menakutkan, tapi dengan wajah ramah dan tangan terbuka. Dipimpin Letnan Dua Infanteri Risal, mereka mengunjungi warga bukan untuk operasi militer, melainkan untuk menyapa kehidupan, mengenal, dan menjalin rasa.

Hari ini, Sabtu (7/6/2025), mereka menggelar makan bersama warga. Di tengah tawa anak-anak dan obrolan hangat para ibu, nasi dan lauk sederhana disajikan di atas daun pisang yang lebar. Tak ada protokol. Tak ada pangkat. Hanya manusia yang saling duduk, saling berbagi, dan saling percaya.

Letda Inf Risal menyampaikan dengan suara tenang, “Kami datang bukan hanya untuk menjaga batas, tapi juga untuk menjalin hati. Karena kedamaian lahir bukan dari senjata, tapi dari rasa percaya dan persaudaraan.”

Mata anak-anak Wombru memandang mereka dengan takjub, sebagian menggandeng tangan prajurit, sebagian duduk di pangkuan mereka sambil tertawa kecil. Para ibu menyuguhkan makanan dengan senyum tulus, seperti menyambut anak yang lama merantau.

Salah satu tokoh masyarakat, Bapak Lexy, berkata lirih dengan mata berkaca-kaca,

“Mereka bukan hanya tentara. Mereka adalah saudara. Kehadiran mereka memberi rasa aman, tapi lebih dari itu, memberi kami harapan.” tegasnya.

Di tengah wilayah yang kerap diwarnai tantangan, kehadiran prajurit Satgas Yonif 700/WYC di Wombru menjadi bukti bahwa kekuatan sejati bukan hanya diukur dari keberanian menghadapi konflik, tapi juga dari keberanian untuk merendah, menyentuh hati, dan menciptakan damai dalam diam.

Kegiatan sederhana ini mengajarkan banyak hal. Bahwa negara bisa hadir bukan hanya lewat kebijakan, tapi lewat sentuhan tangan. Bahwa pengabdian bisa ditunjukkan bukan hanya lewat senjata, tapi juga dari sebutir nasi yang dibagi, selembar daun pisang yang dihampar, dan sebuah senyum yang tulus dibalas senyum.

Di tempat yang jauh dari sorotan media, prajurit-prajurit itu sedang menulis sejarah, bukan dalam buku, tetapi dalam hati manusia.

Dan dari Kampung Wombru, gema cinta untuk negeri bergaung pelan namun dalam: bahwa Indonesia kuat bukan hanya karena penjagaan di batas, tapi karena pelukan yang mengikat.

(Bro/Sulaiman)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *